Rabu, 19 Januari 2011

NGAYOGYAKARTA DALAM KANCAH POLITIK

NGAYOGYAKARTA DALAM KANCAH POLITIK
Politik memang panas, tetapi politik juga menentukan stabilitas suatu Negara. Diantaranya terkait dengan masalah ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, hukum, sumber daya alam pertahanan dan ketahanan, dan masih banyak lagi, itu semua tergantung terhadap kebijakan pemerintah Indonesia sebagai Negara demokrasi dengan sistem presidensil sebagai landasan pemerintahannya. Era reformasi menuntut akan adanya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat yang kemudian disusul dengan pemilihan kepala daerah baik tingkat satu (Provinsi) maupun tingkat dua (Kabupaten/Kota). Sementara untuk menduduki pemerintahan dan bisa menjadi calon presiden atau kepala daerah harus melalui jalur politik terlebih dahulu yang biasa disebut dengan politik praktis yang sekarang terdiri dari partai-partai. Yang menjadi permasalahan untuk saat ini adalah para elite politiknya yang kurang jujur dan berhati baik, sehingga imbasnya kepada kebijakan publik dan akhirnya rakyatlah yang menjadi korbannya.
Menilik masalah politik di Provinsi Yogyakarta atau biasa disebut Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang didalamnya mencakup Kabupaten, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman dan Kota Yogyakarta saat ini sudah berkembang dengan pesat mengikuti trend perpolitikan nasional, sehingga dengan serta merta kepala daerah dipilih secara langsung dan hal ini sudah dilaksanakan di Yogyakarta. Namun untuk Kepala Daerah tingkat satu (Provinsi), DIY menganut sistem Keistimewaan Demokrasi, dengan sistem penetapan Sri Sultan dan Paku Alam menjadi Gubernur dan wakil gubernurnya tanpa adanya pemilihan langsung seperti di Provinsi lain, dan hal itu tidak usah dipertanyakanlagi! Lalu muncul pertanyaan selanjutnya, loh kenapa? Wong DKI Jakarta juga yang merupakan daerah istimewa, Gubernurnya dipilih langsung oleh rakyat! Menurut saya pertanyaan tersebut wajar dilontarkan oleh orang awam yang tidak tahu seluk beluk perjuangan Yogyakarta pada masa perebutan Kemerdekaan Indonesia dulu.
Berbicara keistemewaan demokrasi merupakan sisi positif dari sistem demokrasi, perlu digaris bawahi demokrasi disini (Indonesia) adalah demokrasi pancasila bukan demokrasi liberal yang sekarang sedang melakukan ekspansi ke berbagai Negara di dunia. DIY memproklamirkan penetapan termasuk salah satu keistimewaan demokrasi pancasila, karena masyarakat DIY sendiri yang memintanya dan kalau pemerintah tidak mengabulkan permintaan masyarakat DIY berarti perlu dipertanyakan sistem demokrasi apa yang dianut pemerintah saat ini! Hemat saya pemerintah mempasilitasi dan memberikan batasan atau prasayarat tertentu untuk menjadi daerah istimewa agar tidak serta merta daerah bisa memproklamirkan diri menjadi daerah istimewa.
Kembali pada ranah politik, ada tiga hal penting pada pidato Presiden terkait Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertama; Tranformasi arti Keistimewaan, khususnya DIY untuk masyarakat Indonesia. Dengan pernyataannya dalam pidato, Presiden sengaja memancing akan timbulnya polemik yang ujung-ujungnya akan ada sorotan kilas balik sejarah keistimewaan Yogyakarta dan akhirnya masyarakat, khususnya generasi muda tahu kenapa Yogyakarta disebut daerah istimewa. Ini benilai positif untuk pengetahuan anak bangsa. Kedua; Mengalihkan isu yang sedang berkembang, karena saking banyaknya isu yang membuat pemerintah bingung terkait korupsi, konflik perbatasan, bencana,TKI, dan lain sebagainya, sehingga melontarkan isu baru agar konsentrasi masyarakat jadi memudar yang dalam bahasa politik disebut strategi politik. Karena apabila isu yang sedang berkembang itu dibiarkan, maka lambat waktu akan melemahkan kredibelitas partai politiknya atau kinerja timnya. Ketiga; Memang benar-benar menyinggung masalah monarki. Ini yang disesalkan oleh masyarakat Yogyakarta sampai-sampai adik kandung Sri Sultan Hamangkubuwono X langsung mengundurkan diri dari keanggotaan partai demokrat yang selama ini dinaunginya. Betapa tidak, keistimewaan yang sejak lama diperjuangkan oleh masyarakat Yogyakarta dan Sri Sultan Hamangkubuwono IX kandas begitu saja oleh secarik kertas pidato. Sebenarnya apa sih yang diinginkan pemerintah! Sehingga mengutik-utik sistem yang selama ini harmonis dilaksanakan, terus kenapa baru sekarang untuk diungkit! Apakah pemerintah khawatir akan ada dua sistem dalam satu Negara? Secara rasional tidak mungkin DIY akan menyaingi pemerintah, wong ini sudah berjalan bertahun-tahun dan tidak ada penyelewengan terhadap sistem pemerintahan. Bagi saya ini jelas keistimewaan demokrasi, yang tidak perlu dimunculkan kembali karena akan mengeluarkan energy saja. Lebih baik untuk urusan lain yang lebih penting.
Selanjutnya, idealnya elite politik harus diduduki oleh orang jujur dan berhati baik. Sehingga kebijakan yang dibuat memihak kepada rakyat serta menjunjung nilai-nilai demokrasi dengan menghormati kepada perbedaan-perbedaan termasuk dalam berpartai dan berbudaya. Karena sebagus apapun program suatu Negara dengan memilki potensi melimpah kalau tidak dikelola atau dipimpin oleh kriteria orang diatas maka lambat laun Negara itu akan hancur tak ada arah. Begitupun Wilayah, Daerah, Kecamatan dan Desa yang ada dalam Negara akan terbelakang jika tidak dipimpin oleh Gubernur, Bupati, Camat dan Kades yang berhati baik dan mempunyai jiwa kepemimpinan.
Yogyakarta, 12 Desember 2010


SYUKRON MA’MUN







P